VILLAGE IN THE ATTIC
SEBUAH DESA DI LOTENG
Ada seorang anak baru di kelasku suatu hari ini. Ia tak pernah berbicara
dengan siapapun, jadi dia tak memiliki satupun teman. Saat istirahat,
ia hanya meletakkan kepalanya di atas meja dan mulai menangis
sesenggukan. Aku mulai penasaran dengan dirinya dan memutuskan untuk
mengajaknya ngobrol.
“Kamu selalu kelihatan sedih. Apa ada yang ingin kauceritakan padaku?”
Ia tampak sedikit gemetar, namun akhirnya ia mau menceritakan padaku tentang dirinya.
Ia mengatakan, sekitar sebulan yang lalu, sesuatu yang sangat buruk
terjadi padanya. Ia sedang duduk bermain video game di kamarnya ketika
tanpa sengaja ia mendongak dan melihat sebuah papan di langit-langitnya
terlihat sudah dipindahkan. Dari situ, ia bisa melihat kegelapan pekat
yang ada di dalam loteng rumahnya. Bukannya takut, ia malah mengambil
sebuah kursi dan senter, lalu naik ke sana.
Ketika sampai di atas, ia merasa terkejut akan betapa luasnya loteng
rumahnya tersebut. Bahkan dengan senter, tampaknya kegelapan menyebar
tanpa batas di sana. Rasa ingin tahunya membuatnya menjelajahi loteng
tersebut. Namun setelah beberapa lama, senternya mati dan iapun mulai
ketakutan. Ia mencoba mencari jalan keluar, namun sekeras apapun ia
mencari, ia sepertinya tak bisa menemukan lubang dimana ia masuk tadi.
Ia mencoba terus berjalan, namun kegelapan itu sepertinya tak ada
habis-habisnya.
Ia tersesat di dalam loteng rumahnya sendiri.
Ia terus berjalan dan berjalan, ia akhirnya menemukan cahaya yang lemah
di kejauhan. Ia segera berlari menghampirinya karena yakin itulah jalan
pulang menuju kamarnya. Namun semakin dekat, iapun menyadari bahwa
sumber cahaya itu bukanlah kamarnya. Ia tak yakin, namun ia melihat
sebuah desa dari kejauhan.
Sebuah desa di loteng rumahnya.
Karena sudah merasa putus asa, iapun berjalan menuju desa itu, berharap
di sana ia mungkin dapat menemukan jalan untuk kembali.
Ia mulai gemetar kembali dan air mata menetes di pipinya.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, namun aku melakukan sebisanya untuk menghiburnya.
“Sudahlah, tenang. Semuanya baik-baik saja sekarang.” Aku menepuk
pundaknya, “Aku tahu pengalaman itu menakutkan. Namun kamu aman
sekarang. Jangan menangis lagi.”
Perlahan, ia mendongakkan kepalanya dan menatapku. Air mata masih
mengalir di wajahnya. Apa yang dikatakannya kemudian nyaris membuat
jantungku berhenti.
“Tapi aku masih belum menemukan jalan keluar dari desa itu...”