Pada awal tahun naga tahun 1928 terjadi kehebohan di Kota Bagansiapiapi.
Yang menjadi sasaran adalah tempat-tempat perjudian, tempat
minum-minuman keras, rumah-rumah bordil, tempat pengisapan candu, dan
hiburan lainnya.
Konon, dikisahkan di kamar mandi dalam tempat pelacuran sering terdengar suara orang sedang mandi, namun ketika dilihat ternyata tidak ada orang. Begitu juga di tempat perjudian, batu-batu mahyong sering berputar-putar sendiri. Di kedai kopi kerap terlihat kaki manusia di atas meja.
Konon, dikisahkan di kamar mandi dalam tempat pelacuran sering terdengar suara orang sedang mandi, namun ketika dilihat ternyata tidak ada orang. Begitu juga di tempat perjudian, batu-batu mahyong sering berputar-putar sendiri. Di kedai kopi kerap terlihat kaki manusia di atas meja.
Kontan, para penghuninya dibuat bingung dan mereka segera mengadu kepada
biksu Budha yang ada di Bagansiapiapi untuk mengantisipasi hal yang
terjadi.
Para biksu setempat tidak mampu berbuat banyak akan kejadian tersebut. Mereka lalu memanggil biksu Budha lainnya yang berasal dari Singapura dan Taiwan untuk dimintai bantuan mengatasi permasalahan yang terjadi. Setelah dicek, ternyata kegaduhan ditimbulkan oleh para roh-roh yang sebelumnya mati di laut. Maka atas hal ini, diupayakanlah perjanjian antara pihak biksu dengan roh-roh dari laut tersebut.
Langkah awal dari isi perjanjian antara biksu dengan roh-roh tersebut adalah, memberi kesempatan bagi roh-roh untuk menghibur diri selama satu pekan lamanya. Di seluruh pelosok kota Bagansiapiapi didirikan tempat-tempat hiburan simbolik seperti kedai kopi, rumah candu, hingga rumah bordil yang terbuat dari bambu dan kertas. Di tempat-tempat inilah para setan dipersilahkan menghibur diri selama satu minggu sebagai tahapan awal dari perjanjian yang akan disepakati.
Para biksu setempat tidak mampu berbuat banyak akan kejadian tersebut. Mereka lalu memanggil biksu Budha lainnya yang berasal dari Singapura dan Taiwan untuk dimintai bantuan mengatasi permasalahan yang terjadi. Setelah dicek, ternyata kegaduhan ditimbulkan oleh para roh-roh yang sebelumnya mati di laut. Maka atas hal ini, diupayakanlah perjanjian antara pihak biksu dengan roh-roh dari laut tersebut.
Langkah awal dari isi perjanjian antara biksu dengan roh-roh tersebut adalah, memberi kesempatan bagi roh-roh untuk menghibur diri selama satu pekan lamanya. Di seluruh pelosok kota Bagansiapiapi didirikan tempat-tempat hiburan simbolik seperti kedai kopi, rumah candu, hingga rumah bordil yang terbuat dari bambu dan kertas. Di tempat-tempat inilah para setan dipersilahkan menghibur diri selama satu minggu sebagai tahapan awal dari perjanjian yang akan disepakati.
Sebagai bukti pengukuhan perjanjian tersebut maka dibuatlah tiga prasasti atau tugu yang bertuliskan LAM HU OMITOHUD yaitu nama sang Budha. Jika ada roh jahat naik ke darat akan membaca tulisan tersebut, sehingga tak jadi berbuat onar dan kembali pulang ke laut.
Tugu-tugu perjanjian tersebut tidak boleh hilang, karena jika hal itu terjadi akibatnya perjanjian dengan roh jahat batal.
Bagansiapiapi dikenal memiliki komunitas tionghoa yang besar di Indonesia. Komunitas ini tersebar di hampir pelosok kota Bagansiapiapi, termasuk klenteng yang dapat dijumpai di sudut-sudut kota.