Mural berasal dari kata ‘murus’, kata dari Bahasa Latin yang memiliki
arti dinding. Dalam pengertian kontemporer, mural adalah lukisan
berukuran besar yang dibuat pada dinding (interior ataupun eksterior),
langit-langit, atau bidang datar lainnya. Akar muasal mural dimulai jauh
sebelum peradaban modern, bahkan diduga sejak 30.000 tahun sebelum
Masehi. Sejumlah gambar prasejarah pada dinding gua di Altamira,
Spanyol, dan Lascaux, Prancis, yang melukiskan aksi-aksi berburu,
meramu, dan aktivitas relijius, kerapkali disebut sebagai bentuk mural
generasi pertama.
Mural mulai berkembang menjadi mural modern di tahun 1920-an di Meksiko dengan pelopornya antara lain Diego Rivera, Jose Clemente Orozco, dan David Alfaro.
Tahun 1970-1990 Mural mulai memperlihatkan eksistensinya adalah Jean-Michel Basquiat , graffitinya di sudut-sudut kota dan stasiun di New York, dengan tulisan S.A.M.O. sebagai identitas. Hal ini kemudian menginspirasi banyak seniman lain untuk berkarya di ruang publik. Salah satu seniman yang terpengaruh adalah Keith Haring yang kemudian banyak mengerjakan dan dianggap sebagai seniman mural selama kariernya (Sentoso, 2003).
Mural mulai berkembang menjadi mural modern di tahun 1920-an di Meksiko dengan pelopornya antara lain Diego Rivera, Jose Clemente Orozco, dan David Alfaro.
Tahun 1970-1990 Mural mulai memperlihatkan eksistensinya adalah Jean-Michel Basquiat , graffitinya di sudut-sudut kota dan stasiun di New York, dengan tulisan S.A.M.O. sebagai identitas. Hal ini kemudian menginspirasi banyak seniman lain untuk berkarya di ruang publik. Salah satu seniman yang terpengaruh adalah Keith Haring yang kemudian banyak mengerjakan dan dianggap sebagai seniman mural selama kariernya (Sentoso, 2003).
Mural di Indonesia sudah ada sejak zaman perang kemerdekan. Pada saat itu, para pejuang mengekspresikan keinginannya melalui graffiti. Walaupun dengan skill dan peralatan yang masih sederhana, konsep tulisan di dinding menjadi paling aman untuk mengekspresikan pendapat secara diam-diam pada saat itu (Gusman, 2005).
Beberapa tahun lalu stadion Gajayana Malang dipenuhi oleh karya seni
mural. Namun kini telah lenyap oleh renovasi. Padahal ruang-ruang
alternative seperti ini cukup penting sebagai wadah ekspresi anak-anak
muda. Konsekuensinya, semakin banyak muncul mural-mural di berbagai
ruang publik di Malang. Sebagian orang mungkin menganggap negatif, namun
tidak bisa kita pungkiri saat ini kita berada di tengah budaya yang
kompleks dan melahirkan warna-warna baru sebagai ekspresi seni.